ADA ribuan buku telah ditulis tentang bagaimana sesungguhnya sebuah proses belajar-mengajar harus dikelola. Ada jutaan pengalaman di pikiran dan tindakan jutaan guru yang selalu dibagi kepada setiap siswa dalam proses belajar sehari-hari. Ada begitu banyak kesadaran yang mulai tumbuh untuk belajar dari hal-hal yang dianggap salah ketika kita mengajarkan sesuatu terhadap para siswa.
Pendek kata, cara belajar dan mengajar memang selalu menarik untuk dikaji dan dilihat, karena belajar merupakan kesadaran alami yang dimiliki setiap insan yang diberi akal dan pikiran oleh Yang Maha Berpikir, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam tradisi pendidikan Islam, ada satu kitab yang secara fenomenal menjadi rujukan sepanjang zaman tentang tatacara belajar dan menuntut ilmu, yaitu kitab Ta’lim Al-Muta’allim yang jika diterjemahkan secara literal dapat berarti ‘penuntut ilmu tentang cara belajar’. Hampir semua pesantren salafi di Indonesia mengajarkan kitab ini kepada para santrinya, namun elaborasi terhadap kitab ini dalam ranah pendidikan modern masih jarang dilakukan.
Karena itu, ketika semua orang gemar dan senang mengutip tentang teknik pengelolaan kelas, teknik belajar-mengajar secara efektif dan menyenangkan, serta mempelajari beragam strategi pembelajaran, namun ada satu landasan teologis dalam belajar yang kurang diperhatikan dalam proses belajar mengajar, yaitu soal niat.
ENAM PRINSIP
Syeik Al-Zarnuji pengarang kitab Ta’lim Al-Muta’allim kerap menyebut fenomena kegagalan siswa dan guru dalam proses belajar-mengajar karena ketiadaan motivasi yang konsisten. Konsistensi niat dalam belajar merupakan landasan utama terjadinya proses belajar-mengajar yang efektif dan menyenangkan.
Kesadaran ini perlu diulang dan diperbaharui setiap saat agar niat belajar menjadi sandaran untuk beribadah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Sama seperti ibadah salat, puasa, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, niat harus selalu dikelola dalam bentang kesadaran manusia yang cenderung berubah setiap saat.
Dalam pendidikan modern, sebenarnya elaborasi soal niat banyak disamakan dengan teori motivasi, tetapi lebih kepada aspek psikologis tinimbang teologis. Perlu ada cara menanamkan kesadaran tentang pentingnya niat belajar dalam proses belajar-memgajar secara berulang-ulang, sama seperti niat salat yang selalu dilakukan 5 kali sehari.
Dalam praktik sederhana, guru harus memiliki teknik dan cara untuk memotivasi siswa setiap saat dan berusaha mengingatkan para siswa mereka tentang konsekuensi salah niat dalam belajar yang dapat menyebabkan kegagalan. Niat sangat berkaitan erat dengan sikap. Jika sikap merupakan target pertama proses pendidikan kita, melibatkan siswa sebanyak mungkin dalam mendesain kebutuhan kurikulum berbasis standar pengetahuan dan keingintahuan siswa ialah tuntutan yang tidak bisa dihindari setiap guru.
Susan M Drake dan Rebecca C Burns dalam Meeting Standards Through Integrated Curriculum (2004) menyebutnya sebagai “Students as standards-based curriculum designers”.
Belajar dari pengalaman Sekolah Sukma Bangsa, secara konseptual proses pengembangan kemampuan guru paling tidak didasarkan pada sedikitnya enam prinsip.
Pertama, manajemen sekolah harus senantiasa berusaha menumbuhkan kesadaran dan minat di kalangan guru untuk terus-menerus belajar agar mereka dapat merespons tuntutan (standar) profesionalitas dan dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang berjalan secara dinamis.
Kedua, proses pembelajaran merupakan kunci utama untuk meraih hasil pendidikan yang optimal.
Oleh sebab itu, penting bagi setiap sekolah untuk memberikan prioritas pada proses belajar mengajar yang bermutu.
Penguasaan tentang bidang studi yang diajarkan (kompetensi) dan keragaman pendekatan pembelajaran, termasuk metode, merupakan bagian yang menyatu dalam setiap upaya untuk meningkatkan kemampuan profesional guru.
Ketiga, interaksi antara guru dan murid di dalam proses pembelajaran merupakan bagian yang menentukan pembelajaran yang efektif.
Keberhasilan murid dalam memahami atau menguasai apa yang disampaikan guru dalam pembelajaran (konsep atau bahan ajar) tidak dapat dipisahkan dari kemampuan guru dalam mengomunikasikannya.
Untuk itu, diperlukan kemampuan atau keterampilan guru berkomunikasi secara efektif dalam menyelenggarakan pembelajaran yang bermutu.
Keempat, murid sebagai subjek dari pembelajaran. Efektivitas pembelajaran dicirikan atau mensyaratkan adanya peran serta aktif dari murid dalam pembelajaran. Kemampuan guru untuk mendorong para murid aktif dalam proses pembelajaran menjadi faktor penting dalam menciptakan pembelajaran yang bermutu. Untuk itu diperlukan kemampuan guru dalam menerapkan dan mengembangkan pendekatan-pendekatan partisipatif (active learning).
Kelima, kreativitas guru dalam mengupayakan pembelajaran yang efektif dan mengembangkan pendekatan partisipatif merupakan sumber utama dalam mengembangkan inovasi di sekolah. Upaya-upaya kreatif guru dalam menyelenggarakan pembelajaran merupakan bahan belajar bersama untuk melahirkan inovasi pendidikan di lingkungan Sekolah, dan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber belajar bagi guru-guru di sekolah lain. Oleh sebab itu, pengembangan profesionalitas guru juga diarahkan untuk menumbuhkembangkan kemampuan meneliti pembelajaran yang hasilnya sebagai bahan bagi pengembangan pembelajaran (kreativitas atau inovasi).
Keenam, dukungan atau peran serta masyarakat dan empati terhadap lingkungan sosiokultural, termasuk kepentingan masyarakat setempat yang terkait dunia persekolahan, merupakan faktor penting untuk menciptakan kesinambungan dari program peningkatan profesionalitas guru.
Untuk itu, pemberdayaan terhadap forum sekolah dan masyarakat (komite sekolah), sebagai wadah peran serta masyarakat bagi peningkatan mutu sekolah-sekolah setempat, merupakan bagian yang juga penting.
CARA MEMOTIVASI
Selain keenam prinsip di atas, mengelola kelas yang damai juga memerlukan pendekatan yang kreatif dalam setiap prosesnya. Dennis Sale, dalam buku Creative Teaching: An Evidence-Based Approach (2015), secara sederhana memberikan contoh menarik bagaimana cara memotivasi siswa dalam proses belajar-mengajar yang damai.
Pendekatan yang dilakukan dalam mengelaborasi persoalan motivasi dirangkai secara apik dalam skema SHAPE, sebuah pendekatan yang dimulai dari (S)tories, (H)umor, (A)ctivities, (P)resentation Style, dan (E)xample.
Mengelola kelas yang damai bagi guru harus dimulai dari sebuah cerita. Melakukan pengalaman bercerita ini di awal setiap materi yang akan diberikan, karena cerita secara psikologis merupakan cara efektif untuk membangun ingatan dan motivasi anak untuk belajar.
Telling the stories harus menjadi kesadaran kreatif guru pada setiap kali proses belajar-mengajar dimulai.
Jangan lupa, dalam setiap cerita, sisipkan humor-humor tertentu yang dapat melibatkan kesadaran psikologis siswa untuk berbagi keceriaan.
Guru yang kreatif harus tidak kehilangan akal untuk menyisipkan sense of humor dalam proses belajar mengajarnya.
Kelas yang damai juga membutuhkan serangkaian aktivitas kelas yang melibatkan seluruh siswa dalam membangun makna dari setiap konsep dan teori ilmu yang sedang diajarkan. Aktivitas dimaksud bisa jadi dalam bentuk kerja kelompok, bermain peran, atau peer based learning activities yang memasangkan siswa dengan siswa lain secara bergantian untuk merangkai makna dari konsep atau teori yang sedang diajarkan.
Harus diingat, bahwa seberapa banyak aktivitas yang akan melibatkan siswa, itu sangat tergantung dari cara guru mempersiapkan bahan ajar dalam sebuah langkah presentasi materi yang sistematis dengan gaya bahasa dan bahasa tubuh yang juga dinamis dan efektif. Perlu latihan bertahun-tahun dalam mengembangkan kemampuan presentasi yang efektif, sebelum pada akhirnya seorang guru juga harus menyiapkan begitu banyak contoh nyata dari materi, konsep, dan teori yang diajarkannya. Selamat mencoba.
PENULIS :
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 08 Mei 2017
PENULIS :
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 08 Mei 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar